‘Pengajian Ramadhan ‘ DPP PKB Gelar Pengajian Bertajuk In Memorial K.H Hasyim Asy’ari


Dewan Perwakilan Pusat Partai Kebangkitan Bangsa (DPP PKB) selenggarakan pengajian Ramadhan. Dalam pengajian itu, DPP PKB hendak ‘mengaji’ kitab Risalah Ahlussunah Wal Jama’ah karya Hadratussyaikh K.H Hasyim Asy’ari. Hari ini, 7 Ramadhan 1442 Hijriyah bertepatan dengan 76 tahun meninggalnya Hadratussyaikh K.H Hasyim Asy’ari, yang meninggal dunia pada 7 ramadhan 1366 Hiriyah (21 Juli 1947 Masehi).

‘Pengajian Ramadhan’ DPP PKB pada Senin (19/21) menjelang buka puasa yakni pukul 17.00 WIB. Acara tersebut dapat disaksikan secara virtual; bisa diakses melalui Youtube dan Facebook DPP PKB. Sementara itu, Pengurus PP Mahasina Darul Quran Wal Hadist, Badriyah Fayumi, turut hadir dalam pengajian itu sebagai pemateri.

Pengajian Ramadhan tersebut sekaligus menjadi ajang ziarah pada pahlawan dan ulama besar, K.H Hasyim Asy’ari. Olehkarena itu penetuan wakth Pengajian Ramadhan DPP PKB memang sudah diniatkan sebagai bentuk syukur, ziarah, mengisahkan dan mendoakan K.H Hasyim Asy’ari.

Berikut sejarah dan biografi KH Hasyim Asy’ari dikutip dari buku ‘Biografi KH Hasyim Asy’ari’ karya Drs Lathful Khuluk:

Hasyim Asy’ari atau yang juga dikenal dengan nama Muhammad Hasyim lahir dari keluarga elit kiai di Jawa pada 14 Februari 1871. Keturunannya merupakan orang yang dihormati karena ayahnya Asy’ari adalah pendiri Pesantren Keras, nama sebuah daerah di Jombang dan kakeknya kiai terkenal dan pendiri pesantren Gedang, Kiai Utsman. Sementara kakek buyut KH Hasyim Asy’ari, Kiai Sihah merupakan pimpinan Pondok Pesantren Tambakberas.

Dari keluarganya lah, KH Hasyim Asy’ari memperoleh ilmu agama. Ayahnya juga dikenal sebagai santri terpandai sehingga ia dikawinkan dengan Halimah, ibu dari KH Hasyim Asy’ari.

Anak ketiga dari sepuluh bersaudara ini menempuh pendidikan di Pesantren milik kakeknya, Gedang. Selama 13 tahun, pendidikannya langsung di bawah bimbingan keluarganya sendiri sehingga tidak diragukan lagi kecerdasan dan perilakunya.

Pada usia 15 tahun, KH Hasyim Asy’ari memutuskan untuk mencari ilmu agama di pesantren lain. Selama lima tahun ia belajar di Pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo, Jawa Timur.

Di sana juga, ia bertemu dengan istrinya. Ia memutuskan menikah pada usia 21 tahun setelah dijodohkan dengan seorang putri kiai. Setelah itu, mereka berdua menunaikan ibadah haji ke Mekkah.

Di sana, mereka tinggal selama tujuh bulan lamanya. Sayang, KH Hasyim Asy’ari harus pulang ke Tanah Air sendirian karena sang Istri meninggal dunia usai melahirkan anaknya, Abdullah yang juga meninggal di usia dua bulan.

Pada tahun 1893, KH Hasyim Asy’ari memutuskan untuk kembali lagi ke Mekkah bersama saudaranya, Anis yang kemudian juga meninggal di sana. Tak hanya menuntut ilmu, KH Hasyim juga diketahui mengajar di Mekkah selama tujuh tahun.

Ia pun kembali ke rumahnya pada tahun 1900 dan memutuskan menjadi pengajar di pesantren milik ayah dan kakeknya. Di tahun 1903-1906 ia juga mengajar di kediaman mertuanya, Kemudring, (Kediri).

Selama hidupnya, KH Hasyim diketahui menikah selama tujuh kali yang mana semua istrinya merupakan anak dari seorang kiai. Anak-anaknya pun dibekali dengan ilmu agama dengan mengirimkan mereka semua ke pesantren, tak terkecuali untuk anak perempuannya, Nyai Khairiyah.

KH Hasyim akhirnya mendirikan pesantrennya sendiri, yakni Tebuireng. Anak-anaknya pun menikah dengan anak Kiai dan berhasil mendirikan pesantrennya sendiri.

Ia dipercaya memiliki kekuatan yang luar biasa sejak mendirikan Pesantren Tebuireng. Kekuatannya spiritualnya dipercaya berasal dari Allah SWT. Berkat hal itu, ia dihormati masyarakat luas dan juga mendirikan Nahdlatul Ulama (NU).

Orang-orang selalu mengikuti apa yang dikatakan oleh KH Hasyim Asy’ari, seperti saat menghadapi kolonial di tahun 1945. Ia memutuskan untuk menyampaikan resolusi jihad melawan kolonial di Jawa Timur.

KH Hasyim Asy’ari menyampaikan amanat berupa pokok-pokok kaidah tentang kewajiban umat Islam, pria maupun wanita dalam jihad mempertahankan Tanah Air dan bangsanya. Resolusi itu dikenal sebagai ‘Resolusi Jihad Fii Sabilillah’.

Resolusi tersebut berhasil menggerakkan santri, pemuda, bahkan masyarakat untuk berjuang bersama melawan pasukan kolonial yang puncaknya terjadi pada 10 November 1945. Untuk mengenang pergerakan tersebut, pemerintah pun memutuskan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional.

Penulis: Haydar