
Penolakan RUU No 20/2003 tentang Sisdiknas semakin kencang. Namun, respon Kemendikbud terhadap kritikan ini dinilai kurang serius. Syaiful Huda, Ketua Komisi X DPR RI, lantas menginisiasi pembentukan Kopja untuk menengahi tendesi antara publik dengan Mendikbu RUU Sisdiknas.
Syaiful Huda menjelaskan, yang mendasari kritikan terhadap RUU Sisdiknas ini karena tidak dimuatnya klausul Tunjangan Pendidikan Profesi Guru. Huda pun menilai kritikan ini sangat mendasar lantaran di UU Dosen dan Guru sangatlah detil pasal mengenai tunjangan profesi guru.
Oleh karena itu, pihaknya mengaku RUU Sisdiknas perlu dibenahi ulang secara bersama dengan publik sebelum dimasukan dalam Prolegnas Prioritas Perubahan tahun 2023.
“Kami sepakat jika UU Nomor 20/2003 tentang Sisdiknas harus direvisi karena dinamika pengelolaan pendidikan nasional sudah jauh berubah dibandingkan kondisi 20 tahun lalu. Kendati demikian harus dibuka ruang dialog yang lebih transparan mengingat banyaknya penolakan dari kelompok masyarakat sipil. Maka saya menginisiasi adanya Kelompok Kerja (Pokja) Nasional RUU Sisdiknas ini,” ujar Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda, Kamis (1/9/2022).
Huda menegaskan dengan membentuk Kelompok Kerja (Pokja) Nasional difungsikan untuk memberikan ruang dialogis; dalam artian mendengar suara-suara para guru. Sebab yang nantinya menerima impact langsung dari RUU Sisdiknas ini adalah guru.
“Apalagi suara-suara tersebut disampaikan oleh lembaga-lembaga yang selama ini terlibat aktif dalam pengelolaan pendidikan nasional seperti PGRI, P2G, Muhammadiyah, pemerhati pendidikan, hingga para guru besar,” ujarnya.
Selain itu Huda pun menjelaskan hasil bahwa Kemendikbud selama merancang draf RUU Sisdiknas ini terkesan berjalan sendiri. Ungkap ini Huda jelaskan usai menerima laporan dari para pakar pendidikan.
“Pakar-pakar yang diundang sebagian besar mengaku hanya disuruh mendengarkan poin-poin dalam draf RUU Sisdiknas, sehingga kesannya Kemendikbud Ristek hanya sosialisasi saja. Di samping itu memang belum ada grand desain pendidikan yang disepakati sebagai pijakan dalam pembentukan UU. Hal inilah yang dianggap kelemahan dari sisi prosedur penyusunan draf RUU Sisdiknas,” katanya.
“Bisa jadi antara maksud perancang RUU Sisdiknas dengan publik ada gap yang memicu miss persepsi. Maka sekali lagi perlu ruang dialogis yang lebih luas,” katanya.
Terakhir Huda pun mengulas bentuk respon Kemendikbud terhadap kritik dan saran terhadap RUU Sisdiknas. Kata Huda, Mendikbud tidak cukup menampung aspirasi hanya dengan menyediakan website sosialisasi.
“Maka kami berharap Pokja Nasional RUU Sisdiknas ini bisa menjadi ruang dialog para stake holder pendidikan sehingga revisi RUU Sisdiknas benar-benar merupakan bentuk pertemuan ide, gagasan, dan harapan akan terbentuknya sistem pendidikan nasional terbaik yang kita impikan bersama,” pungkasnya.