Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan, profesi guru jadi yang paling banyak terlilit Pinjaman Online (Pinjol). Merespon hal ini, Syaiful Huda menegaskan bahwa fenomena tersebut bukti nyata kesejahteraan gury masih menjadi masalah.
OJK pekan kemarin mengungkapkan ada delapan kelompok masyarakat yang paling banyak terjerat pinjol. Guru menduduki peringkat pertama dengan prosentase sebesar 42 persen. Disusul kemudian korban PHK sebanyak 21 persen, kalangan ibu rumah tangga 17 persen. Kemudian 9 persen adalah karyawan, 4 persen pedagang, dan 3 persen pelajar. Lalu, sisanya yakni tukang pangkas rambut dan ojek online masing-masing 2 persen dan 1 persen.
“Data OJK menyebut guru menjadi kelompok masyarakat yang paling banyak terjerat pinjaman online menjadi salah satu indikator betapa dunia pendidikan di Indonesia masih menghadapi persoalan serius. Tidak mungkin kita bisa membayangkan kemajuan kualitas peserta didik jika sang pendidik masih berjibaku dengan upaya mencukupi kebutuhan sehari-hari,” ujar Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda, Senin (29/4/2023).
Lebih lanjut, Huda mengingatkan rendahnya kesejahteraan guru turut merambat kepada kualitas peserta didik.
“Kondisi ini hampir bisa dipastikan berkorelasi pada kualitas pembelajaran karena fokus tenaga pendidik akan terpecah di mana satu sisi harus mengajar dan di sisi lain harus berupaya memenuhi kebutuhan dasar,” kata Huda.
Sementara itu bagi Huda, proses meningkatkan kesejahteraan guru cenderung jalan di tempat. Menurutnya, kebijakan-kebijakan Kemendikbud saat ini nyaris tidak menyentuh pada persoalan kesejahteraan guru.
“Selama ini perbaikan sistem pendidikan kita terkesan parsial dan jalan di tempat karena persoalan utamanya yakni kesejahteraan guru tidak jadi prioritas utama. Dalam pandangan kami perubahan kurikulum, perbaikan sarana prasarana sekolah, hingga pergantian seragam siswa tidak akan banyak berarti jika guru tidak disejahterakan,” pungkas Huda.
Huda pun menyoroti soal program satu juta guru honorer diangkat jadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Namun, program ini berjalan relatif lambat. Hal ini diakibatkan lemahnya kordinasi lemahnya koordinasi antarkementerian/lembaga (K/L).
“Maka wajar jika saat ini meskipun ada klaim sebanyak 740.000 guru honorer telah lulus seleksi PPPK dari Kemendikbud Ristek namun tidak semua dari mereka mendapatkan surat keputusan (SK) pengangkatan dari Kemenpan RB,” katanya.
“Pengangkatan satu juta guru menjadi PPPK sebenarnya merupakan langkah darurat sebagai solusi persoalan kesejahteraan guru yang belasan tahun tak kunjung tuntas, namun faktanya solusi darurat ini juga tidak berjalan optimal karena hingga saat ini masih ratusan ribu guru yang belum diangkat menjadi PPPK,” katanya.
Maka dari itu, Huda mendesak semua pemangku kepentingan pendidikan agar fokus menyelesaikan persoalan kesejahteraan guru.